Minggu, 06 Maret 2011

Sudahkah mengambil warisan dari para Nabi 'alaihimush sholatu wa sallam...???

Bookmark and Share


Nabiyullah shollallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,
إن العلماء هم ورثة الأنبياء، لم يرثوا دينارا ولا درهما، وإنما ورثوا العلم؛ فمن أخذه أخذ بحظ وافر
Sesungguhnya para 'ulama adalah... pewaris para Nabi, dan mereka tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang banyak.
[Shahih: HR. Ahmad (2/252, 325), Abu Dawud (no. 3641), Tirmidzi (no. 2682), Ibn Majah (no. 223), dan Ibn Hibban (no. 80 - Mawaarid), dari Abud Darda' radhiyallahu 'anhu]

Tahukah engkau bahwa ilmu yang diwariskan oleh para Nabi 'alaihimush sholatu wa sallam adalah ilmu yang bermanfaat.

Bagaimana kita mengenalinya?

Berikut tipsnya:
1. Orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat tidak peduli dengan keadaan dan kedudukan dirinya. Hatinya juga membenci pujian manusia, karenanya dia senantiasa memandang dirinya sebagai orang yang dha'if, yang tidak memiliki apa pun untuk dibanggakan dihadapan manusia.
2. Pemilik ilmu yang bermanfaat adalah orang yang apabila ilmunya bertambah, maka tawadhu'-nya pun bertambah. Dia semakin memahami dan menyadari kedudukannya dihadapan Allah Ta'ala, yakni sebagai 'abid (hamba) yang sangat bergantung pada-Nya.
3. Ilmu yang bermanfaat membuat pemiliknya 'alergi' kepada dunia. Sehingga membuatnya menjadi seorang yang zuhud.
4. Seorang dengan ilmu yang bermanfaat senantiasa merasa kurang dengan ilmu, sehingga dia tidak sok-sok'an mengakui dirinya sebagai orang 'alim. Dan dia juga tidak memandang rendah keilmuan orang lain, kecuali telah jelas penyimpangannya terhadap syari'at.
[Diringkas dari Fadhlu 'Ilmi Salaf 'alal Khalaf (hal. 55-57), karya Imam Ibn Rajab, ta'liq & takhrij: Syaikh 'Ali Hasan al-Halabiy, cet. I, Darul 'Ammar, thn. 1406 H]

Lalu apakah ilmu yang bermanfaat itu?

Ilmu yang bermanfaat itu adalah,
1. Ilmu tentang Allah, Asma' wash Shifat, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
2. Ilmu mengenai khabar dari Allah tentang kejadian masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
3. Ilmu yang berkaitan dengan perintah Allah, baik amalan hati maupun jasmani.
[Muqowwimaat ad-Daa'iyah an-Naajih (hal. 18), karya Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf al-Qaththani]

Yahya bin 'Ammar pernah berkata,
"Ilmu terbagi menjadi 5, yaitu:
1. Ilmu yang menjadi 'kehidupan' bagi agama, yakni ilmu tauhid.
2. Ilmu yang menjadi 'makanan'nya, yakni ilmu tafsir Qur'an dan ilmu hadits.
3. Ilmu yang menjadi 'obat' agama, yakni fatwa.
4. Ilmu yang menjadi 'penyakit' agama, yakni ilmu kalam dan bid'ah.
5. Ilmu yang 'membinasakan' bagi agama, yakni ilmu sihir dan yang semisalnya.
[Lihat Siyar A'laam an-Nubalaa' (XVII/482), karya Imam adz-Dzahabi, tahqiq & takhrij: Syu'aib al-Arnauth, cet. XII, Mu'assasah ar-Risalah, thn. 1417 H]

Syaikh 'Utsaimin berkata bahwa tingkatan ilmu pada seseorang terdiri atas 6 bagian, yaitu:
1. Al-'ilmu: dia mengetahui sesuatu dengan keadaan yang sebenarnya dan dengan pengetahuan yang pasti.
2. Al-jahlul basith: dia tidak mengetahui sesuatu sama sekali.
3. Al-jahlul murakkab: dia beranggapan dirinya mengetahui sesuatu, akan tetapi pengetahuannya tidak sesuai dengan kenyataannya.
4. Al-wahm: dia mengetahui sesuatu dengan kemungkinan salah yang lebih besar daripada benarnya.
5. Asy-syakk: dia mengetahui sesuatu yang kemungkinan salah dan benarnya seimbang/sama.
6. Azh-zhann: dia mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar dari salahnya.

Dan ilmu juga terbagi menjadi 2, yaitu dharuri dan nazhari.
Dharuri: pengetahuan yang dapat langsung diperoleh tanpa penelitian & dalil, seperti api itu panas.
Nazhari: pengetahuan yang harus melalui penelitian & dilandasi dalil, seperti masalah fiqhiyah.
[Lihat Syarh Tsalaatsah al-Ushuul (hal. 18-19), cet. 3, Daar ats-Tsurayya, thn. 1417 H]

Imam asy-Syafi'i rahimahullah pernah juga menggambarkan 6 hal yang dapat membantu para thulab/penuntut 'ilmu dalam memperoleh ilmu,

Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu, melainkan dengan 6 perkara.
Kukabarkan kepadamu rinciannya dengan jelas,
dzakaa'un (kecerdasan), wa hirshan (kemauan keras), wajtihaadun (bersungguh-sungguh), wa bulghatun (bekal yang cukup), wa shuhbah ustadz (bimbingan ustadz), wa thuulu zamaan (dan waktunya yang panjang/lama).
[Diwan Imam asy-Syafi'i (hal. 378), cet. Daar al-Fikr, thn. 1415 H]

Imam Yahya bin Abi Katsir rahimahullah pernah berkata,
Laa yustatha'ul 'ilm bi raahatil jism.
Ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan (dengan santai).
[Atsar shahih: Riwayat Muslim (no. 612 (175)) dan Ibnu 'Abdil Barr dalam Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlihi (I/385 no. 554), tahqiq: Abu Asybal az-Zuhairi, cet. 2, Daar Ibnul Jauzi, thn. 1416 H]

Maka, kita harus betul-betul memperhatikan metode, sumber dan kesungguhan kita dalam menuntut ilmu.
Sebagaimana Imam Muhammad bin Sirin pernah berkata,
Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil (ilmu) agama kalian.
[Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya (I/14), cet. I, Daarul Kutub al-'Ilmiyyah, thn. 1421 H]

منهمان لا يشبعان: منهوم في العلم لا يشبع منه، ةمنهوم في الدنيا لا يشبع منها
Dua orang rakus yang tidak pernah kenyang: orang yang rakus terhadap ilmu dan tidak pernah kenyang dengannya, dan orang yang rakus terhadap dunia, dan tidak kenyang kepadanya.
[Hasan: HR. Al-Baihaqi dalam al-Madkhal (no. 450) dan al-Hakim (I/92), Ibn Khaitsamah dalam Kitaabul 'Ilmi (no. 141), dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu]

Maka, jadilah orang yang rakus terhadap warisan para Nabi 'alaihimush sholatu wa salam..!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger