Jumat, 22 April 2011

shalat sunnah dimasjid tiba2 adzan berkumandang....

Bookmark and Share

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Mohon dijelaskan perihal boleh / tidaknya mengerjakan sholat sunnah di
dalam masjid, di mana pada saat itu di masjid itu adzan sedang
... dikumandangkan. Mohon dijelaskan berikut dalilnya.
Jazakumullah khairan katsiraa
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Bismillah. Assalamu'alaikum.
Sedikit tambahan dari Ana. Alhamdulillah Ana sedikit punya info tentang ini,
yang mana Ana melihat langsung praktek dari sebagian Ulama salafi di sini, di
Kuwait (Syeikh Khalid Adz Dzufairi, Syeikh Falah Ismail, Syeikh Muhammad Al
Anjari) dan juga praktek seorang thalibul ilmi, namanya Syeikh Abul Abbas Adil
Mansur (Yamani) yang pernah belajar ke syeikh Muqbil dan beberapa ulama
lainnya, serta beliau juga punya rekomendasi (tazkiyah) dari syeikh Rabi'
Dari yang ana lihat, kesimpulan secara ringkasnyai:
1. Mendengarkan adzan adalah sunnah dan menjawabnya adalah keutamaan.
2. Saat kajian/muhadharah ada syeikh yang berhenti berbicara karena memang saat
itu kajiannya di masjid dan setelah adzan (dan doa setelahnya tentunya) beliau
meneruskan pembicaraan.
Tapi, saat kajian di rumah, sering sekali Ana dapatkan beliau meneruskan
pembicaraan dan kadang kala juga menjawab adzan, kadang tidak. (Dari sini Ana
fahami sunnahnya menjawab adzan, dan tentunya ada keutamaannya bagi yang
menjawab).
Akan tetapi jika sedang tidak bicara (ngobrol biasa atau tanya jawab), maka
beliau menjawab adzan tersebut.
3. Jika shalat tersebut adalah SHALAT TAHIYATUL MASJID sementara adzan sedang
berkumandang, maka tetap shalat karena shalat tahiyatul masjid lebih kuat
perintahnya, bahkan sebagian ulama mewajibkannya. Maka, dalam hal ini sangat
jelas sekali bahwa yang wajib diutamakan untuk dikerjakan lebih dahulu daripada
yang sunnah.
Seingat Ana juga ada kisah: ketika Rasululloh sedang berkhutbah (jum'at) ada
seorang shahabat yang datang terlambat dan langsung duduk, ternyata Rasululloh
menegur shahabat tadi supaya shalat 2 rakaat dulu. Padahal mendengarkan khutbah
jum'at adalah wajib.
4. Jika kedudukannya sama, maka ada pilihan. Jika memungkinkan maka alangkah
baiknya menjawab adzan dulu baru kemudian shalat sunnah (Qabliyah, misalnya).
Dan hal ini juga akan lebih khusyu dan tuma'ninah dalam melaksanakan shalat
sunnah, daripada shalat sementara adzan berkumandang.
Wallohu a'lam.


-    Pertanyaan : Bagaimana hukum berbicara pada saat adzan di kumandangkan
sekalipun bertanya tentang hal yang syar'i ??

Jawaban : Asalnya tidak ada larangan seseorang untuk berbincang-bincang saat
adzan dikumandangkan, sebagaimana dalam sebuah ...atsar dari seorang tabi'in yang
bernama Tsa'labah bin Abi Malik Al-Qurozhy riwayat Imam Malik (1/103).
Hanya saja, yang paling afdhol adalah dia diam dan mendengarkan azan agar dia
bisa menjawab dengan baik azan yang sedang dikumandangkan, dan telah dimaklumi
bersama bahwa menjawab adzan hukumnya adalah sunnah mu`akkadah.
Termasuk dari fa`idah adab yang pernah kami dapatkan dari membaca biografi
para ulama adalah bahwa ada seseorang yang pernah bertanya kepada Syaikh 'Abdul
'Aziz bin Baz -rahimahullah- padahal azan sedang berkumandang. Maka beliau
menegur penanya tersebut dengan ucapan beliau, "Apakah kamu tidak mendengarkan
azan?!".(Dijawab oleh Ust. 'Abdul Qodir dan Ust. Hammad)

-     Assalamua'alikum, Ustadz ana mau nanya ketika kita sampai di masjid untuk solat dan ketika itu Azan masih dikumandangkan, apakah yang harus kita lakukan? apakah kita mendengarkan Azan Terlebih dahulu sehingga selesai Azan atau kita langsung... melaksanakan solat tahyatul Masjid?

yang ana Fahami ketika solat Jum'at Lebih Utama Mendengarkan Khutbah dari pada mendengarkan Azan oleh karena itu ana lebih mengutamakan untuk melaksanakan solat Sunnah sehingga ana mengikuti Khutbah.

tetapi bagaimana kalau terjadi ketika kita akan solat Fardu semisal solat Maghrib, atau Isa' Ketika kita datang dan masih dikumandangkan Azan apakah kita Dengarkan Azan sehingga selesai atau kita langsung Mengerjakan SOlat SUnnah?
 Mohon penjelasannya, Jazakumullah.

Wa'alaikumus salam.
 Asalnya adalah kita mendengarkan adzan dulu hingga selesai, baru kemudian membaca do'a sesudah adzan lalu laksanakan shalat sunnah. Itu asalnya.
Namun jika di hari Jumat datangnya telat, pas ketika adzan berkumandang sesud...ah khotib naik mimbar, maka ketika itu boleh kerjakan shalat sunnah di saat adzan dengan tujuan untuk mendengar khutbah. Mendengar khutbah itu lebih utama daripada menjawab adzan. Kaedahnya: Dahulukan yang wajib daripada yang sunnah.
 Demikian jawaban singkat dari kami
http://rumaysho.com/konsultasi/topic.html?id=1037

-    Pertanyaan ;

Bolehkah mengerjakan shalat tahiyatul masjid di saat muadzin mengumandangkan adzan?

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah menjelaskan,
...
Jika seseorang memasuki masjid dan muadzin sedang mengumandangkan adzan, maka ia punya pilihan. Ia bolah saja melaksanakan shalat tahiyyatul masjid ketika dikumandangkan adzan atau ia boleh pula menjawab adzan terlebih dahulu. Namun yang afdhol adalah menjawab adzan kemudian ia shalat. Hal ini dilakukan supaya ia bisa mengerjakan dua ibadah (yaitu menjawab adzan terlebih dahulu, baru melakukan shalat sunnah tahiyyatul masjid, pen) dan ini berarti ia mengumpulkan dua pahala sekaligus.

Moga mendapat ilmu bermanfaat. Alhamdulillah ...
Wallohu A'lam......

Tidak Ada Yang Namanya Nasyid-Nasyid Islami Dalam Kitab-Kitab Salaf....

Bookmark and Share

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
...
Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Banyak beredar di kalangan pemuda muslim kaset-kaset nasyid yang mereka sebut "an-nasyid Islamiyyah". Bagaimana sebenarnya permasalahan ini ?

Jawaban
Jika an-nasyid ini tidak disertai alat-alat musik, maka saya katakan "pada dasarnya tidak mengapa", dengan syarat nasyid tersebut terlepas dari segala bentuk pelanggaran syari'at, seperti meminta pertolongan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, bertawassul kepada makhluk, demikian pula tidak boleh dijadikan kebiasaan (dalam mendengarkannya,-pent), karena akan memalingkan generasi muslim dari membaca, mempelajari, dan merenungi Kitab Allah Azza wa Jalla yang sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih, di antaranya beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang tidak membaca Al-Qur'an dengan membaguskan suaranya, maka dia bukan dari golongan kami". [Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 5023 dan Muslim no. 232-234]

"Artinya : Bacalah Al-Qur'an dan baguskanlah suaramu dengannya sebelum datang beberapa kaum yang tergesa-gesa mendapat balasan (upah bacaan), dan tidak sabar menanti untuk mendapatkan (pahalanya di akhirat kelak), maka bacalah Al-Qur'an dengan membaguskan suara(mu) dengannya".

Lagipula, barangsiapa yang mengamati perihal para sahabat Radhiyallahu 'anhum, dia tidak akan mendapatkan adanya annasyid-annasyid dalam kehidupan mereka, karena mereka adalah generasi yang sungguh-sungguh dan bukan generasi hiburan.

[Al-Ashaalah, 17 hal. 70-71]

[Disalin ulang dari buku Biografi Syaikh Al-Albani Rahimahullah Mujaddid dan Ahli Hadits Abad Ini. Penyusun Mubarak bin Mahfudh Bamuallim Lc, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i]

WAJIB WASPADA DARI NASYID-NASYID DAN MELARANG JUAL BELI SERTA PEREDARANNYA

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Sesuatu yang sepantasnya diperhatikan ialah, adanya kaset-kaset berisi nasyid-nasyid paduan suara yang beredar dikalangan para pemuda aktivis Islam yang mereka namakan nasyid Islam, padahal itu termasuk nyanyian. Dan kadangkala nasyid tersebut mengandung suara yang menggoda, dijual di pameran-pameran bersama kaset-kaset rekaman Al-Qur'an dan ceramah-ceramah agama.

Penamanaan nasyid ini dengan nasyid Islami adalah penamaan yang salah, karena Islam tidak mensyariatkan nasyid bagi kita. Tetapi mensyariatkan kepada kita dzikir kepada Allah, membaca Al-Qur'an, dan belajar ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid itu termasuk agama (tata-cara) orang sufi ahli bid'ah, yakni orang-orang yang menjadikan hal yang sia-sia dan permainan sebagai agamanya. Padahal menjadikan nasyid bagian dari agama adalah tasyabbuh dengan orang-orang Nashara yang menjadikan nyanyian bersama, serta senandung sebagai bagian (ibadah) agama mereka.

Maka dari itu wajib (bagi kaum muslimin) agar waspada dari nasyid-nasyid ini, serta melarang peredaran serta penjualannya disamping kandungan isinya yang jelek, yakni mengobarkan fitnah berupa semangat yang terburu nafsu (kurang perhitungan), dan menaburkan benih perselisihan diantara kaum muslimin. Orang yang menyebar luaskan nasyid ini kadang berdalih bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah diperdengarkan disisi beliau syair-syair, dan beliau menikmatinya serta menetapkan (kebolehan)nya.

Maka jawabnya : Bahwa syair-syair yang diperdengarkan disisi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah dilantunkan dengan paduan suara semacam nyanyian-nyanyian, dan tidak pula dinamakan nasyid-nasyid Islami, namun ia hanyalah syair-syair Arab yang mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan kedermawanan.

Para sahabat melantunkannya secara sendirian lantaran makna yang dikandungnya. Mereka melantunkan sebagan syair ketika bekerja melelahkan, seperti membangun (masjid), berjalan di waktu malam saat safar (jihad). Maka perbuatan mereka ini menunjukkan atas kebolehan macam lantunan (syair) ini, dalam keadaan khusus (seperti) ini. Bukannya dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu pendidikan dan dakwah ! Sebagaimana hal ini merupakan kenyataan di zaman sekarang, yang mana para santri ditalqin (dilatih menghafal) nasyid-nasyid ini, lalu dikatakan sebagai nasyid-nasyid Islam. Ini merupakan perbuatan bid'ah dalam agama. Sedang ia merupakan agama kaum sufi ahli bid'ah. Mereka adalah orang-orang yang dikenali menjadikan nasyid-nasyid sebagai bagian agama.

Maka wajib memperhatikan makar-makar ini. Karena pada awalnya kejelekan itu bermula sedikit lalu berkembang lambat laun menjadi banyak, ketika tidak segera diberantas pada saat kemuculannya.

[Al-Khuthabul Minbariyah, Syaih Shalih Al-Fauzan]

TIDAK ADA YANG NAMANYA NASYID-NASYID ISLAMI DALAM KITAB-KITAB SALAF

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Wahai syaikh, banyak dibicarakan tentang nasyid Islami. Ada yang berfatwa membolehkannya. Ada juga yang mengatakan bahwa ia sebagai pengganti kaset nyanyian. Bagaimana menurut pandangan anda ?

Jawaban
Penamaan ini tidak benar. Ia adalah nama yang baru. Tidak ada penamaan nasyid-nasyid Islami dalam kitab para ulama salaf, serta ahlul ilmi yang pendapat mereka diperhitungkan. Dan sudah menjadi maklum bahwa kaum sufilah yang menjadikan nasyid-nasyid itu sebagai agama mereka dan inilah yang mereka sebut "sama" (nyanyian).

Pada masa kita ini, ketika banyak muncul kelompok dan golongan, maka masing-masing kelompok memiliki nasyid yang mendorong semangat yang kadang mereka namakan nasyid-nasyid Islami. Penamaan ini adalah tidak benar. Dan tidak boleh mengambil nasyid-nasyid ini serta mengedarkannya dikalangan manusia. Wa billahit Taufiq.

[Majalah Ad-Dakwah Vol 1632, Tanggal 7-11-1416H]

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 06 Tahun IV. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik-Jatim]
http://almanhaj.or.id/content/1735/slash/0

HUKUM NASYID ATAU LAGU-LAGU BERNAFASKAN ISLAM...

Bookmark and Share

Oleh
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta.

Pertanyaan
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Sesungguhnya kami mengetahui tentang haramnya nyanyian atau lagu dalam bentuknya yang ada pada saat ini karena di dalamnya terkandung perkataan-perkataan yang tercela atau perkataan-perkataan lain yang sama sekali tidak mengand...ung manfaat yang diharapkan, sedangkan kami adalah pemuda muslim yang hatinya diterangi oleh Allah dengan cahaya kebenaran sehingga kami harus mengganti kebiasaan itu. Maka kami memilih untuk mendengarkan lagu-lagu bernafaskan Islam yang di dalamnya terkandung semangat yang menggelora, simpati dan lain sebagainya yang dapat menambah semangat dan rasa simpati kami. Nasyid atau lagu-lagu bernafaskan Islam adalah rangkaian bait-bait syair yang disenandungkan oleh para pendakwah Islam (semoga Allah memberi kekuatan kepada mereka) yang diekspresikan dalam bentuk nada seperti syair 'Saudaraku' karya Sayyid Quthub -rahimahullah-. Apa hukum lagu-lagu bernafaskan Islam yang di dalamnya murni terkandung perkataan yang membangkitkan semangat dan rasa simpati, yang diucapkan oleh para pendakwah pada masa sekarang atau pada pada masa-masa lampau, di mana lagu-lagu tersebut menggambarkan tentang Islam dan mengajak para pendengarnya kepada keislaman.

Apakah boleh mendengarkan nasyid atau lagu-lagu bernafaskan Islam tersebut jika lagu itu diiringi dengan suara rebana (gendang)? Sepanjang pengetahuan saya yang terbatas ini, saya mendengar bahwa Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam-membolehkan kaum muslimin untuk memukul genderang pada malam pesta pernikahan sedangkan genderang merupakan alat musik yang tidak ada bedanya dengan alat musik lain? Mohon penjelasannya dan semoga Allah memberi petunjuk.

Jawaban
Lembaga Fatwa menjelaskan sebagai berikut: Anda benar mengatakan bahwa lagu-lagu yang bentuknya seperti sekarang ini hukumnya adalah haram karena berisi kata-kata yang tercela dan tidak ada kebaikan di dalamnya, bahkan cenderung mengagungkan nafsu dan daya tarik seksual, yang mengundang pendengarnya untuk berbuat tidak baik. Semoga Allah menunjukkan kita kepada jalan yang diridlaiNya. Anda boleh mengganti kebiasaan anda mendengarkan lagu-lagu semacam itu dengan nasyid atau lagu-lagu yang bernafaskan Islam karena di dalamnya terdapat hikmah, peringatan dan teladan (ibrah) yang mengobarkan semangat serta ghirah dalam beragama, membangkitkan rasa simpati, penjauhan diri dari segala macam bentuk keburukan. Seruannya dapat membangkitkan jiwa sang pelantun maupun pendengarnya agar berlaku taat kepada Allah -Subhanahu Wa Ta'ala-, merubah kemaksiatan dan pelanggaran terhadap ketentuanNya menjadi perlindungan dengan syari'at serta berjihad di jalanNya.

Tetapi tidak boleh menjadikan nasyid itu sebagai suatu yang wajib untuk dirinya dan sebagai kebiasaan, cukup dilakukan pada saat-saat tertentu ketika hhal itu dibutuhkan seperti pada saat pesta pernikahan, selamatan sebelum melakukan perjalanan di jalan Allah (berjihad), atau acara-acara seperti itu. Nasyid ini boleh juga dilantunkan guna membangkitkan semangat untuk melakukan perbuatan yang baik ketika jiwa sedang tidak bergairah dan hilang semangat. Juga pada saat jiwa terdorong untuk berbuat buruk, maka nasyid atau lagu-lagu Islami tersebut boleh dilantunkan untuk mencegah dan menghindar dari keburukan.

Namun lebih baik seseorang menghindari hal-hal yang membawanya kepada keburukan dengan membaca Al-Qur'an, mengingat Allah dan mengamalkan hadits-hadits Nabi, karena sesungguhnya hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi jiwa serta lebih menguatkan dan menenangkan hati, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya." [Az-Zumar: 23]

Dalam ayat lain Allah berfirman.

"Artinya : Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik." [Ar-Ra'd: 28-29]

Sudah menjadi kebiasaan para sahabat untuk menjadikah Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai penolong mereka dengan cara menghafal, mempelajari serta mengamalkannya. Selain itu mereka juga memiliki nasyid-nasyid dan nyanyian yang mereka lantunkan seperti saat mereka menggali parit Khandaq, membangun masjid-masjid dan saat mereka menuju medan pertempuran (jihad) atau pada kesempatan lain di mana lagu itu dibutuhkan tanpa menjadikannya sebagai syiar atau semboyan, tetapi hanya dijadikan sebagai pendorong dan pengobar semangat juang mereka.

Sedangkan genderang dan alat-alat musik lainnya tidak boleh dipergunakan untuk mengiringi nasyid-nasyid tersebut karena Nabi -Shollallaahu'alaihi wa sallam- dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu. Semoga Allah menunjukkan kita kepada jalan yang lurus. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

[Fatawa Islamiyah, al-Lajnah ad-Da'imah, 4/532-534]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Jurasiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]

www.almanhaj.or.id

HUKUM NASYID-NASYID ISLAMI ...

Bookmark and Share

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

... Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apa hukum nasyid-nasyid Islami ?

Jawaban
Yang aku lihat nasyid-nasyid yang disebut nasyid-nasyid agama, dahulunya adalah termasuk kekhususan thariqah-thariqah kaum sufi. Dan kebanyakan para pemuda mukmin mengingkarinya lantaran sikap ghuluw kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beristhighatsah kepada beliau, bukan kepada Allah. Kemudian muncul nasyid-nasyid baru dalam masalah i'tiqad sebagai perkembangan dari nasyid-nasyid jaman dulu tersebut. Di dalamnya ada yang lurus maka tidaklah mengapa, karena jauh dari perihal kesyirikan dan paganisme (sebagaimana) yang terdapat di dalam nasyid-nasyid lama. Namun perlu diperhatikan bahwa bagi setiap muslim wajib menetapi jalan yang telah ditempuh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Setiap orang yang meneliti kitabullah dan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan apa yang telah ditempuh oleh salafush shalih, maka secara mutlak tidak akan mendapati apa yang mereka namakan nasyid agamis, meski nasyid ini telah diluruskan dari (penyimpangan) nasyid-nasyid lama yang mengandung sikap ghuluw dalam memuji Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka cukup bagi kita untuk mengambil dalil dalam mengingkari nasyid-nasyid ini yang mulai merebak di kalangan para pemuda dengan klaim bahwasanya tidak ada penyelisihan terhadap syar'i, cukuplah bagi kita dalam sisi penunjukan dalil atas hal itu dengan dua perkara berikut.

Pertama : Bahwa nasyid-nasyid ini bukan termasuk jalan kaum Salafush Shalih.

Kedua : Dan ia pada kenyataannya berdasarkan apa yang aku rasakan dan saksikan, ternyata bahaya juga. Hal itu karena kita mulai melihat para pemuda muslim terlena dengan nasyid-nasyid agamis ini dan bernyanyi dengannya sebagaimana dikatakan pada masa lalu hajiirah "adat kebiasaannya" seterusnya dan selamanya. Lalu hal itu memalingkan mereka dari perhatiannya untuk membaca Al-Qur'an dan berdzikir kepada Allah, serta bershalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskannya. Oleh karena itulah barangkali dari sebab ini dan penyimpangan yang lain Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Baguskanlah suaramu dengan Al-Qur'an, dan jagalah ia (tetaplah membacanya). Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, sungguh Al-Qur'an itu lebih mudah hilang (lupa/lepas dengan cepat) dari dalam dada manusia ketimbang onta (yang diikat) dari tambatannya".[1]

[Diringkas dari kitab Al-Bayaan Al-Mufiid An Hukmit Tamtsiil Wal Anaasyiid, Abdullah Al-Sulaimani, Pengantar Syaikh Shalih Al-Fauzan]

HUKUM NASYID ISLAMI

Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah kaum laki-laki melantunkan nasyid-nasyid bersama-sama ? Apakah boleh nasyid diiringi dengna pukulan rebana ? Dan apakah nasyid diperbolehkan pada selain hari raya dan pesta kegembiraan ?

Jawaban
Nasyid Islami adalah nasyid bid'ah, serupa dengan apa yang dibuat-buat oleh orang-orang sufi. Oleh karena itu selayaknya (kita) berpaling dari nasyid itu dan menggantinya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kecuali dalam saat-saat peperangan agar memberikan motivasi keberanian dan berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla maka hal ini adalah baik. Dan jika berkumpul dengan (tabuhan) rebana, maka hal itu lebih jauh lagi dari kebenaran.

[Fatawa Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, dihimpun oleh Asyraf Abdul Maqshud, hal. 134]

HUKUM NASYID-NASYID ISLAMI

Oleh
Syaikh Shalih Alu Syaikh


Pertanyaan.
Syaikh Shalih Alu Syaikh ditanya : Pada masa kini banyak terdapat sarana-sarana dakwah ke jalan Allah. Sebagiannya membuat aku bingung seperti patung dan nasyid. Apakah yang semacam ini diperbolehkan ataukah tidak ?

Jawaban
Nasyid-nasyid yang saya ketahui dari pembicaraan ulama kita yang kalam mereka dijadikan fatwa, bahwa mereka tidak membolehkannya, karena nasyid datang lewat jalan ikhwanul muslimin, sedang ikhwanul muslimin menjadikan bagian tarbiyah mereka adalah nasyid.

Nasyid pada waktu dahulu biasa dikerjakan oleh thriqah-thariqah sufiyah seperti satu macam dari kesan/pengaruh bagi orang yang menginginkannya.

Nasyid-nasyid di negeri ini (Arab Saudi), dan didendangkan dalam berbagai kegiatan. Ahlul Ilmi berfatwa terhadap apa yang nampak dari kenyataan ini, bahwa ia tidak boleh.

Imam Ahmad mengatakan tentang taghbir yang dibuat-buat oleh kaum sufi yang serupa dengan nasyid yanga da pada zaman sekarang, "Itu adalah perkara baru dan bid'ah; yang dikehendaki darinya ialah memalingkan orang-orang dari Al-Qur'an". Dahulu mereka menamakannya nyanyian yang terpuji (puji-pujian) padahal sebenarnya ia bukanlah nyanyian terpuji tapi tercela..!

[Diambil secara ringkas dari fatwa yang panjang dalam kaset yang berjudul : Fatwa Ulama tentang apa yang dinamakan nasyid islami, terbitan rekaman Minhajus Sunnah Riyadh]

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 6 Tahun IV, hal.35-36. Penerbit Lajnah Dakwah Ma'had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik, Jatim]
_________
Foote Note.
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari 5032, Muslim 1314, 1315 dan selainnya, dengan lafadz : Dari sejelek-jelek ucapan seseorang adalah "Saya lupa ayat ini dan itu" tetapi (yang benar ialah) ia telah dilupakan. Ingat-ingatlah Al-Qur'an, karena ia lebih mudah pergi (hilang) dan menjauh dari dalam dada manusia, daripada hewan ternak (yang diikat pada tiangnya).

Dan dalam riwayat lain.
"Tetaplah kamu membaca Al-Qur'an ini, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditanganNya, sungguh Al-Qur'an itu lebih mudah hilang (dari ingatan seseorang) dari pada onta yang terikat ditambatannya". Muslim No. 1317, Ahmad No. 16679, 16721, dan selainnya]


www.almanhaj.or.id

MENGIKUTI MANHAJ SALAF DALAM SEMUA HAL....

Bookmark and Share

Oleh
Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan
 ...

Dalam memahami Islam, dalam bentuk apapun, baik masalah ibadah, syari’ah, mu’amalah; terutama masalah aqidah, harus mengikuti sebagaimana ulama-ulama Salaf memahaminya. Sebagai contoh dalam memahami al Qur`an dan al Hadits, kita tidak boleh lepas dari pemahaman ulama-ulama Salaf. Mengapa harus mengikuti para salaf?

Karena para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, mereka adalah yang paling memahami tentang Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Begitu pula kita harus mengikuti imam-imam Ahlus Sunnah, karena mereka sangat memahami tentang Islam. Apa yang difatwakan mereka adalah untuk kebaikan bagi kaum Muslimin. Memang, para imam-imam tersebut tidak ma’shum, tetapi, mereka itu adalah mujtahid. Sedangkan ciri Ahlus Sunnah, di antaranya ialah mengikuti para ulama dalam memahami dalil, terutama masalah fitnah yang dimunculkan oleh firqah-firqah. Sebagai contoh, yaitu Khawarij dan Syi'ah.

Khawarij, mereka salah dalam memahami ayat :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. [al Maidah/5 : 44].

Kelompok Khawarij tidak rela terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu kepada Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu, dan akhirnya mereka mengkafirkan Ali Radhiyallahu 'anhu. Setelah itu, muncullah kelompok yang mengatasnamakan pendukung Ali Radhiyallahu 'anhu yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang kemudian menyatakan masuk Islam, dan pada akhirnya nanti sebagai bibit pertama munculnya Syi'ah. Tokoh ini sangat berlebihan dalam mencintai Ali Radhiyallahu 'anhu. Dia menyatakan, bahwa berdasarkan wasiat dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, katanya, Ali Radhiyallahu 'anhu lebih berhak menjadi khalifah. Bahkan Syi'ah sampai mengangkat Ali sebagai ilah (sesembahan). Kedua firqah ini muncul pada zaman Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu.

Firqah lain yang juga muncul, yaitu Qadariyah dan Murjiah. Firqah Qadariyah sendiri telah ada sejak zaman Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, karya Al Lalika’i (I/35-36) disebutkan, Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata : Orang-orag musyrik Quraisy mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mendebat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah qadar, maka turunlah firman Allah Azza wa Jalla.

إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ

[Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka - al Qamar/54 ayat 47-].

Disebutkan dalam al Lalika’i, halaman 36, ketika terjadi perdebatan di antara para sahabat dalam masalah qadar, dan didengar oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memarahi dan melarang mereka untuk mengulang-ulang pembicaraan tersebut. Dalam riwayat Muslim, dari Yahya bin Ya’mar, sesungguhnya ia berkata : "Orang yang pertama kali berbicara tentang al qadr di Basrah adalah, Ma’bad al Juhani".

Madzhab Qadariyah berpandangan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mentaqdirkan sesuatu dan Dia tidak mengetahuinya. Menurut paham sesat Qadariyah, Allah mengetahui setelah suatu kejadian itu terjadi. Dari pemahaman ini, berarti ada dua kesimpulan. Pertama, ingkar terhadap ilmu Allah sebelum sesuatu itu terjadi. Kedua, berarti hamba itu terjadi dengan sendirinya, bukan dari Allah. [Lihat al Lalika’i, 1/36-37].

Sedangkan Murjiah, mereka mempunyai pandangan, apabila seseorang yang beriman, melakukan dosa maka dosanya itu tidak mempengaruhi keimanannya. Sebagaimana orang kafir, sekalipun melakukan ketaatan, akan tetapi ketaatan itu tidak mempengaruhi kekufurannya. Mereka menyangka, iman itu hanya pembenaran di dalam hati saja. [Syarah Aqidah Washithiyah, Harrasy, hlm. 188]

Jadi, pada zaman pertengahan Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu, telah muncul bid’ah-bid’ah Khawarij, Murjiah, Qadariyah, Syi’ah. Kemudian pada tahun 100-150 H muncullah nama pemuka ahli bid’ah, di antaranya Muqatil bin Sulaiman, Jahm bin Shafwan, Al Ja’d bin Dirham dan Washil bin Atha’. Mereka ini, masing-masing mempunyai pemikiran dan diikuti oleh jamaahnya.

Kemudian pada tahun 150-234 H, seiring dengan munculnya empat tokoh ahli bid’ah tersebut, muncul bid’ah-bid'ah dalam pemikiran, di antaranya :

1. Manzilah bainal manzilatain (satu tempat di antara dua tempat), yaitu tidak mukmin tidak kafir.
2. Masalah dosa besar.
3. Muncul bid’ah yang menyatakan bahwa al Qur`an itu makhluk.
4. Bid’ah yang menafikan (menolak) Asma’ wa Shsifat (nama-nama dan sifat-sifat Allah), atau menta’wilnya.
5. Bid’ah Jabariyah, yang berpandangan bahwa manusia itu dipaksa oleh Allah, dan manusia sama sekali tidak mempunyai kekuatan kehendak.

Inilah bid'ah-bid'ah yang muncul pada saat itu, yang pada zaman Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu. Dan bid’ah yang pada waktu kemudian bermunculan, banyak terpengaruh oleh pemikiran atau filsafat Yunaniyah, merupakan produk dari akal manusia yang jahil, menyimpang dari al Qur`an dan as Sunnah dan pemahaman Salaful Ummah.

Adapun firqah-firqah yang muncul pada masa sekarang ini, semuanya menginduk kepada empat firqah tersebut, bisa ke Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, atau Murjiah. Kesesatan firqah-firqah tersebut bisa karena mereka melampui batas dalam melaksanakan perintah, ataupun meninggalkan yang semestinya boleh dilakukan. Yakni, mereka terjatuh ke dalam al ifrath (terlalu mengagungkan) dan at tafrith (berlebih-lebihan). Padahal Islam itu wasath (tengah-tengah), di antara al ifrath dan at tafrith. Artinya, tidak boleh berlebih-lebihan, dalam batas yang disyariatkan. Islam itu lurus.

Firqah-firqah itu menisbatkan diri kepada Islam dan berbicara tentang Islam. Dan dalam membicarakan Islam, firqah-firqah tersebut menggunakan akal dan filsafat Yunani. Apabila al Qur`an dan Hadits bertentangan dengan akal dan filsafat, mereka akan mendahulukan akalnya daripada al Qur`an dan as Sunnah. Maka jelaslah, pemikiran semacam ini menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Dan harus diwaspadai, karena pola pemikiran seperti ini beredar di perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam. Sehingga tak mustahil bisa melahirkan kecenderungan berpikir sangat berbahaya. Terlebih lagi bagi masyarakat kita yang mayoritas awam dan sangat kagum dengan orang yang mempunyai gelar kesarjanaan.

Dalam makalah ini, kami akan mengemukakan beberapa contoh, bahwa Islam itu berada di tengah-tengah, di antara al ifrath dan at tahrith, tidak kurang dan tidak berlebihan. Naskah yang ditulis oleh Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan ini, diangkat dari Tahdzib, Tashil al Aqidah al Islamiyah, Dr. 'Abdullah bin 'Abdul Aziz al Jibrin. Semoga bermanfaat.

DALAM MASALAH IBADAH
Dalam masalah aqidah ini, pemahaman Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah, antara pemikiran Rafidhah dan ad Duruz an Nushairiyah

Rafidhah, mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tetapi tidak sebagaimana yang disyariatkanNya, seperti dalam berdzikir, tawasul. Dzikir mereka amalkan ialah dengan dipimpin, dan secara berjamaah. Mereka juga bertawasul kepada orang-orang shalih yang sudah meninggal, membuat acara-acara bid’ah, seperti Maulid Nabi, Isra` Mi`raj, mendirikan bangunan di atas kubur, kemudian shalat dan thawaf, serta menyembelih di atasnya. Perbuatan yang mereka amalkan sangat melampui batas, hingga mereka menyembah dan berdoa kepadanya, dengan maksud untuk mendatangkan manfaat dan menolak madharat (bahaya, musibah). Misalnya dengan maksud minta kaya dan keselamatan, serta menolak bala` (musibah).

Ad Duruz an Nushairiyah, mereka tidak melaksanakan ibadah-ibadah yang biasa dilakukan oleh kaum Muslimin. Mereka meninggalkan shalat, tidak berpuasa, tidak zakat, tidak berhaji dan seterusnya.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan yang disyariatkan di dalam al Qur`an dan as Sunnah. Tidak meninggalkan yang diwajibkan oleh Allah, dan tidak menambah dengan hal-hal baru yang tidak ada contohnya dari Rasul. Berdasarkan hadits :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat-buat suatu yang baru dalam agama ini yang tidak berasal darinya, maka itu tertolak. [Muttafaq ‘alaih]

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan satu amalan yang tidak ada dalam agama kami ini, maka itu tertolak. [HR Muslim]

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta seburuk-buruknya adalah perkara baru yang dibuat-buat. Dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat. [HR Muslim].

DALAM MASALAH ASMA`DAN SIFAT ALLAH
Pemahaman Ahlus Sunnah dalam asma` dan sifat Allah berada di tengah-tengah di antara kelompok-kelompok Mu’aththilah (yang menafikan) dan kelompok yang Mumatstsilah (yang menyamakan Allah dengan makhluk). Di antara Mu’aththilah ada yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah, seperti Jahmiyah. Juga ada yang mengingkari sifat-sifat Allah, seperti Mu’tazilah, dan ada yang mengingkari sebagian sifat-sifat Allah, seperti al Asy'ariyah. Mereka ini, dalam menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah bersandar kepada akal manusia, bukan dengan al Qur`an dan as Sunnah.

Al Mumatstsilah, yaitu kelompok yang menjadikan sifat Allah sama seperti sifat makhluk. Seperti mengatakan tangan Allah seperti tangan kami, pendengaran Allah seperti pendengaran kami, dan seterusnya. Pemahaman seperti ini berbeda dengan Ahlus Sunnah.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla atas diriNya dan apa-apa yang ditetapkan oleh RasulNya, baik berupa nama-nama dan sifatNya, tidak dita’wil (dirubah artinya), tidak ditolak (diingkari), tidak disamakan dengan sifat-sifat makhluk, dan tidak bertanya tentang hakikatnya. Ahlus Sunnah mengimani bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah itu benar-benar ada (haqiqi), sesuai dengan kebesaran Allah, dan tidak sama dengan sifat-sifat makhluk. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura/42 : 11]. [Lihat Taqrib at Tadmuriyyah]

DALAM MASALAH QADHA DAN QADAR
Ahlus Sunnah wal Jamaah berada di antara Jabariyah dan Qadariyah.

Firqah Qadariyah, mereka menafikan qadr (ketentuan Allah). Mereka berpendapat, bahwa perbuatan manusia, baik yang berupa ketaatan maupun kemaksiatan, tidak ada campur tangan dari Allah. Perbuatan itu tidak ditakdirkan dan tidak ditentukan Allah. Menurut mereka, perbuatan manusia itu terbebas dari apa saja, tidak ada yang mempengaruhi dan tidak diciptakan oleh Allah. Yang berarti perbuatan manusia itu diciptakan oleh dirinya sendiri. Apabila demikian, berarti Qadariyah terjatuh ke perbuatan syirik dalam masalah rububiyah; karena ada beberapa pencipta, yaitu Allah dan manusia. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjuluki mereka dengan "majusinya" umat ini.

Adapun Jabariyah, mereka berlebihan dalam menetapkan qadr. Mereka berpendapat, sesungguhnya perbuatan hamba itu dipaksa oleh Allah. Manusia hanya mengikuti saja, ibarat daun ditiup angina. Jabariyah menganggap manusia tidak mempunyai kehendak apapun, terserah angin yang membawa.

Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki pemahaman tengah-tengah di antara Jabariyah dan Qadariyah. Ahlus Sunnah menetapkan, bahwa manusia (hamba) itu benar-benar berbuat, dan perbuatan mereka itu dinisbatkan kepada mereka (yang berbuat) dengan sebenar-benarnya. Tetapi, semua perbuatan hamba itu terjadi dengan takdir dan kehendak, dan merupakan ciptaanNya. Allah-lah yang menciptakan hamba dan perbuatan hamba tersebut. Firman Allah:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. [ash Shaffat/37 : 96]

Seorang hamba mempunyai kehendak, tetapi kehendaknya itu di bawah kehendak Allah. Firman Allah :

تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

an kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam. [at Takwir/81 : 29]

Allah memerintahkan kepada hamba untuk taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya, dan melarang mereka berbuat maksiat. Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa, dan Dia tidak ridha kepada orang yang fasik. Supaya hamba tidak menuntut di akhirat nanti, maka Allah mengutus Rasul dan menurunkan kitab. Barangsiapa yang taat, silakan taat dan akan diberi pahala. Sebaliknya, barangsiapa yang ingin bermaksiat, silakan berbuat maksiat dan akan mendapat balasan. Karena permasalahannya sudah jelas, dan Allah tidak zhalim terhadap hambanya. Firman Allah :

مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ 576;ِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba(Nya). [Fushilat/41 : 46].

Ada empat tingkatan yang harus diimani dalam masalah qada’ dan qadr ini.
1. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu.
Sesungguhnya Allah mengetahui yang sudah terjadi dan yang akan terjadi, dan Allah mengetahui perbuatan hambaNya sebelum Allah menciptakannya.

2. Segala yang ada telah dicatat oleh Allah di dalam Lauhul Mafudz pada 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakannya.

3. Kehendak dan kekuasaan Allah meliputi apa yang Allah kehendaki, maka bisa terjadi. Begitu pula apa yang tidak dikehendakiNya, maka tidak akan terjadi. Semua yang terjadi tersebut atas kehendak Allah sebelum hal itu terjadi.

4. Allah menciptakan segala sesuatu.
Allah-lah yang menciptakan orang yang mengerjakan dan pekerjaannya, dan yang bergerak dan gerakannya, dan semua yang diam dan diamnya.

DALAM MASALAH AL WA’D DAN AL WA’ID
Al wa’du atau janji, yaitu ayat-ayat yang memberikan janji surga bagi yang beramal shalih. Sedangkan al wa’id atau ancaman, yaitu ayat-ayat yang memberikan ancaman neraka bagi yang berbuat maksiat.

Pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Wa’idiyah dan Murjiah.

Kelompok Wa’idiyah mempunyai pemahaman, bahwa ayat-ayat al wa’diyah (ancaman) harus diutamakan dibandingkan dengan ayat-ayat al wa’du (janji). Menurut mereka, pelaku dosa besar, seperti zina, minum khamr adalah kafir dan kekal di neraka.

Sedangkan Murjiah, mereka mengutamakan ayat-ayat al wa’du daripada ayat-ayat al wa’id. Mereka berkata, iman ialah pembenaran dalam hati. Amal tidak termasuk iman. Dan kemaksiatan seorang mu’min (seperti zina dan minum khamr) tidak membahayakan keimanannya, dan ia tidak berhak masuk Neraka. Menurut mereka, seorang mukmin meskipun bermaksian, keimanannya tetap seperti keimanan yang dimiliki Abu Bakr dan ‘Umar Radhiyallahu a'nhuma.

Berbeda denganAhlus Sunnah wal Jamaah yang berpendapat, seorang muslim, apabila berbuat maksiat (seperti melakukandosa besar), maka dia tidak keluar dari Islam. Artinya, dia tetap muslim, tetapi imannya berkurang. Selama tidak melakukan perbuatan yang mengkafirkannya, dia tetap mukmin dengan imannya, dan fasiq dengan dosanya. Dan di akhirat terserah kepada Allah Azza wa Jalla. Jika Dia berkehendak untuk mengampuni, maka dia diampuni. Jika tidak, maka disiksa sampai bersih dosa-dosanya, kemudian masuk surga. Mereka tidak kekal di neraka, kecuali jika mati dalam keadaan kufur dan syirik kepada Allah.

Definisi iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah, diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, diamalkan dengan anggota badan. Dan iman itu bisa bertambah dengan sebab ketaatan, berkurang akibat perbuatan maksiat.

DALAM MASALAH PARA SAHABAT NABI SHALALLLAHU A'ALAIHI WA SALLAM
Kepada para sahabat Nabi, pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah kepada mereka berada di antara al Khawarij dan Syiah.

Syiah, mereka melampaui batas dalam mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi), seperti kepada Ali bin abi Thalib dan anak-anaknya Radhiyallahu 'anhum. Mereka memiliki anggapan bahwa Ali Radhiyallahu a'nhu itu ma’shum (tidak pernah salah), mengetahui hal-hal ghaib, dan lebih utama daripada Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu. Bahkan ada yang sampai mengatakan Ali Radhiyallahu 'anhu itu ilah (Tuhan).

Sedangkan Syiah Rafidhah, mereka membenci kepada sebagian sahabat. Mereka melontarkan celaan kepada sebagian sahabat. Mereka mengatakan bahwa para sahabat telah kufur dan murtad setelah Rasulullah n wafat, termasuk juga Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu. Tidak ada pengecualian, selain Ahlul Bait dan beberapa sahabat saja. Mereka berkata, sesungguhnya mereka itu adalah kekasih Ahlul Bait.

Mereka juga mengecam isteri-isteri Rasul dan afdhalush shahabah (sahabat terbaik), yaitu Abu Bakr secara terang-terangan. Terkadang mereka tampak meridhainya, dan secara dhahir menunjukkan kecintaan kepada sahabat dan dekat kepada Ahlus Sunnah. Namun, mereka sebenarnya hanyalah melakukan tipuan saja, sebab aqidah mereka adalah aqidah taqiyyah (pura-pura), dhahirnya menampakkan Ahlus Sunnah, akan tetapi hakikat di dalam kalbunya Syiah.

Sebaliknya, al Khawarij berseberangan dengan Syiah. Khawarij sangat membenci Ali Radhiyallahu 'anhu, dan tidak memberikan hak yang sebenarnya kepada Ali Radhiyallahu 'anhu. Mereka juga mengkafirkan Mu’awiyah dan mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka mencintai sahabat Nabi dan meridhainya. Ahlus Sunnah berpendapat, para sahabat adalah orang yang paling mulia setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Allah telah memilih mereka sebagai sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Terhadap perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak memberikan komentar terhadap pertikaian mereka. Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat, para sahabat adalah mujtahidun, yang mendapat pahala. Jika benar mendapat dua pahala, tetapi jika salah mendapat satu pahala.

Ahlus Sunnah juga berpendapat, sahabat yang termulia adalah Abu Bakr kemudian Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian Ali Radhiyallahu 'anhum, dan juga mencintai Ahlul Bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Bait mendapat dua hak, yaitu hak Islam dan hak keluarga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dari penjelasan ringkas ini, menunjukkan bila Ahlus Sunnah wal Jamaah mencintai dan meridhai para sahabat dan Ahlul Bait Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]http://almanhaj.or.id/

 
Powered by Blogger